Menimbang Fatwa Larangan Salam Lintas Agama: antara Agama dan Harmoni

Oleh: Zaenal Mustakim

Fatwa MUI terkait larangan salam lintas agama mengundang kontroversi, sekaligus perhatian banyak kalangan. Pasalnya, salam ini sudah cukup banyak dipraktikkan masyarakat Indonesia, termasuk di acara resmi kenegaraan. MUI melalui komisi fatwa mengatakan, ucapan salam merupakan bagian dari doa yang mengandung unsur ibadah, sehingga tidak boleh dicampuradukkan dengan agama lain.

Fatwa MUI di atas hanyalah bagian dari pemikiran muslim yang beragam. Keberagaman pemikiran muslim merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah. Misalnya saja, Abdullah Saeed memberikan enam klasifikasi pemikiran Islam, yaitu: traditional, puritan, political, hard-line, secular, dan progressif (Saeed 2006).

Mirip dengan saeed, Ayubi membagi tipologi muslim menjadi lima, yakni: 1) Simplistic Muslim (muslim KTP); 2) Mutadayyin Muslim (Muslim yang taat); 3). Islamic Modernist (Muslim yang gencar mengkampanyekan pembaharuan Islam seperti Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh; 4).

Salafisme (selalu merujuk pada Al-Qur’an serta berorientasi pada kehidupan muslim awal termasuk cara berpakaian, bersosialisasi dan sebagainya. Misalnya: Wahabiyah dan Sanusiyah); 5). Fundamentalisme (mirip dengan Salafisme tapi cenderung tidak mempercayai Fiqh dan kadang radikal. Misalnya ideologi Takfiri di Suriah) (Ayubi 2003).

Pada konteks fatwa terkait larangan salam lintas agama, perbedaan pendapat juga terjadi. Kementerian Agama, memberikaan pandangan yang berbeda terkait hal ini. Dirjen Bimas Islam Kamarudin Amin, mengatakan, salam lintas agama merupakan praktik yang dapat mendorong kerukunan umat.

Menebar damai sebagai ajaran substantif semua agama, dapat dilakukan melalui salam lintas agama. Salam dan ucapan hari raya diyakini Amin tidak berpengaruh terhadap akidah. Ia hanyalah bentuk penerimaan sekaligus penghormatan terhadap realitas yang beragam.

Perbedaan pendapat di kalangan muslim adalah hal yang biasa. Meskipun Saeed dan Ayubi merinci beragam pemikiran muslim di atas, secara garis besar, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok pemikiran besar, yakni kelompok legal eksklusif (cenderung tekstual), dan substantif inklusif (cenderung kontekstual) (Anwar 2006).

Terkait dengan salam lintas agama pun, dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni kalangan yang melarang, dan membolehkan (menganjurkan).

Kalangan yang melarang salam lintas agama bisa jadi masuk dalam kelompok legal eksklusif. Menafsirkan pesan agama hanya dari teks. Maka, salam dimaknai sebagai bagian dari ibadah, yang hanya boleh dilakukan dengan bahasa tertentu dan kepada kelompok tertentu. Ia bersifat sakral, tidak boleh ditafsirkan macam-macam.

Sebaliknya, kalangan substantif eksklusif akan membolehkan, bahkan pada taraf tertentu menganjurkan pengucapan salam berbagai agama. Kalangan ini meyakini, secara substantif, salam berbagai agama itu memiliki kesamaan, yakni mendoakan untuk kebaikan bagi semua orang.

Bahasa dan cara pengucapannya saja yang berbeda antara satu dan lainnya. Maka, tidak ada salahnya mendoakan orang lain, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri, agar lebih mudah dipahami.

Jika menggunakan pendekatan kelompok yang pertama, terlihat ada pertentangan antara agama dan harmoni. Menjaga sakralitas agama terkesan harus dilakukan dengan mengesampingkan aspek harmoni.

Meskipun MUI mengaku tidak melarang upaya mewujudkan harmoni, tapi larangan salam berbagai agama, dapat dimaknai sebagai salah satu batu sandungan dalam mewujudkan harmoni. Salam yang hanya menggunakan bahasa tertentu, cara tertentu, untuk kelompok tertentu berdampak pada menguatnya identitas agama.

Upaya memperkuat identitas agama sendiri dengan sendirinya dapat mengarah pada sikap membenarkan diri sendiri (truth of claim) dan cenderung mengarah pada sikap eksklusif.

Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang kedua, menunjukkan tidak ada pertentangan antara agama dan harmoni. Mewujudkan harmoni, termasuk antar agama yang berbeda, justru menjadi bagian dari ekspresi keagamaan itu sendiri.

Tujuan utama agama, pada dasarnya adalah mewujudkan keharmonian, keselarasan, keadilan, kesejahteraan, dan seterusnya. Bukannya menjaga dengan kaku aspek identitas, namun akhirnya mengorbankan harmoni, sebagai tujuan utama agama itu sendiri.

Banyak sarjana muslim, sebut saja Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan lainnya yang menyerukan keberislaman dengan mengedepankan aspek kemanusiaan. Tujuan utama agama (termasuk Islam), adalah mewujudkan kemanusiaan.

Upaya mewujudkan harmoni salah satunya bisa dilakukan dengan mengucapkan salam berbagai agama. Ini menyimpan pesan, bahwa Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia, mengakui keberadaan mereka. Sebaliknya, upaya berlebihan untuk menjaga “sakralitas” agama secara berlebihan, bisa jadi mengesampingkan tujuan utama agama itu sendiri.

MUI sudah memberikan fatwa larangan salam lintas agama. Namun, MUI bukanlah satu-satunya lembaga yang merepresentasikan otoritas keberagamaan umat Islam di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas, pemikiran muslim sangat beragam.

Sudah selayaknya fatwa MUI ini dikaji dengan lebih santai, lapang, terbuka, serta tidak mengesampingkan tujuan utama agama itu sendiri, yakni mewujudkan keselamatan, kedamaian, keadilan, dan seterusnya.

*) Zaenal Mustakim, Rektor UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Artikel ini diterbitkan ulang dari laman: https://kemenag.go.id/opini/menimbang-fatwa-larangan-salam-lintas-agama-antara-agama-dan-harmoni-fHX25

Spread the love

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *