JEMBER, CENDIKIA.NET – Ramainya laporan dugaan korupsi pejabat di Pemkab Jember, Jawa Timur, hingga mencuat ke sejumlah media daring, disinyalir tak berdiri sendiri. Ada keterlibatan birokrat partisan di internal pemkab yang memang sengaja membikin gaduh di tahun politik.
Oknum birokrat itu berperan sebagai penggali isu, sekaligus mencari-cari celah pelanggaran di internal. Selanjutnya, ia akan mengirim sinyal kepada sejumlah orang untuk melapor ke aparat penegak hukum (APH) yang diikuti oleh pemberitaan di media daring.
Informasi yang diperoleh Cendikia.net, ada dua nama birokrat setingkat kepala dinas yang diduga menjadi biang gaduh. Sebelumnya, kedua birokrat itu sempat tersandung kasus korupsi. Bahkan, salah satunya sampai menjadi tersangka ketika menjabat kepala dinas.
Diduga, motif kedua birokrat tersebut sebagai aksi “balas dendam” kepada pemimpin saat ini. Karena salah satu di antaranya merupakan sisa-sisa rezim lama. Sedangkan satunya lagi, merasa terbuang dari jabatan “basah” yang pernah dipegang sebelumnya. Namun sayang, serangan yang dilakukan membabi buta, hingga rela mengorbankan sejawatnya sesama Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mereka ditengarai juga berkongsi dengan politikus untuk membikin suasana di internal pemerintahan tidak kondusif. Tentu ada deal-deal yang dilakukan. Kabar yang berembus, mereka ingin menjadi kepala dinas dan menduduki posisi “basah” kembali seperti sebelumnya.
“Persaingan di internal birokrasi untuk mendapatkan posisi jabatan tertentu, memang wajar terjadi. Hampir di semua daerah. Namun, yang menggunakan cara seperti di Kabupaten Jember ini tidak banyak. Mereka layaknya jeruk makan jeruk,” kata Satrio Pangestu, Pengamat Politik dan Birokrasi.
Umumnya, kompetisi antar birokrat diwujudkan dengan capaian kinerja. Dengan unjuk prestasi. Bukan dengan aksi saling jegal dan saling sandra yang melibatkan aparat penegak hukum (APH). Pola semacam ini, disebutnya tidak sehat. Karena akan mengganggu roda pemerintahan yang dampak negatifnya menghambat pelayanan di masyarakat.
“Ujung-ujungnya, rakyat juga yang menjadi korban. Hemat saya, inspektorat harus segera bertindak. Menelusuri siapa sebenarnya birokrat yang “berkhianat”. Karena mereka mencari-cari celah di internal, kemudian berkongsi dengan kepentingan politik eksternal. Ini berbahaya,” jelasnya.
Berdasarkan pengamatan Satrio, beragam laporan yang dilayangkan ke APH tersebut, sebenarnya masih dangkal. Karena rata-rata hanya bermodal data yang ada di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Namun untuk membikin suasana gaduh, langkah itu dinilainya sudah cukup ampuh.
“Karena APH akan menindaklanjuti laporan itu dengan memanggil pejabat terkait. Minimal, diminta keterangan soal apa yang dilaporkan. Ini jelas berdampak terhadap psikologis mereka. Imbasnya apa? Pelayanan kepada masyarakat dapat terganggu,” bebernya.
Menurut Satrio, pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan penting dilakukan. Agar para pemangku kepentingan tidak menjalankan kewenangannya secara ugal-ugalan. Namun, biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang independen. Mereka bergerak secara organik dengan tujuan memperbaiki tata pemerintahan.
Namun, pada kasus di internal Pemkab Jember ini berbeda. Satrio melihat, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang terlibat dalam aksi lapor melapor itu merupakan pion dari persekongkolan birokrat dan politisi yang sama-sama berambisi terhadap kekuasaan. Birokrat semacam itu disebutnya sebagai “mafia birokrasi”.
“Maka tadi saya sempat bilang, Inspektorat harus bergerak. Karena Inspektorat memiliki peran kunci dalam menjaga integritas ASN, sekaligus mengawasi agar mereka tidak melakukan pelanggaran. Birokrat pembikin gaduh yang berkongsi dengan kepentingan politik, menurut saya merupakan bentuk pelanggaran serius,” pungkasnya. (putra)