JEMBER, CENDIKIA.NET – Sorotan terhadap proyek mangkrak belasan miliar yang kini jadi “sarang genderuwo” kian tajam. Bahkan, sejumlah fraksi di DPRD Jember menyebutnya sebagai “monumen kegagalan”. Mimpi Jember memiliki asrama haji pupus di tengah jalan.
Melihat duit rakyat yang muspro ini, aktivis antikorupsi meminta Aparat Penegak Hukum (APH) kembali turun tangan. Mengusut siapa saja sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap mubazirnya dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jember 2019 itu.
“APH harus turun tangan untuk menelisik apakah ada kerugian negara atas mangkraknya pembangunan asrama haji tersebut. Usut juga siapa yang harus bertanggung jawab. Apakah bupati saat itu, atau justru pejabat di bawahnya,” ucap Sufyan Mulyo Santoso, Pegiat Antikorupsi.
“Saya kira ini momen yang pas. Karena sekarang masyarakat kembali menyoroti proyek gagal ini,” lanjutnya.
Sufyan menilai, selain bupati yang saat itu dijabat oleh Faida, juga ada dua organisasi perangkat daerah (OPD) yang perlu diminta pertanggung jawaban atas kegagalan proyek tersebut. Yakni, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman Cipta Karya (DPRKPCK).
“Pucuk pimpinan dua OPD ini juga harus bertanggung jawab. Karena terlibat pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Siapa saat itu yang menjabat? Panggil dan periksa,” desaknya.
“Hasilnya sampaikan kepada masyarakat. Agar semuanya tahu apakah proyek ini sengaja didesain untuk gagal, karena faktor human error atau memang ada kondisi lain yang membuatnya tak bisa dilanjutkan,” tambahnya.
Menurut Sufyan, biasanya APH akan memulai dengan menelisik kerugian negara sebagai langkah awal mengusut proyek yang dianggap bermasalah. Selanjutnya, mencari aktor yang paling bertanggung jawab. Umumnya adalah pemangku kebijakan, penanggung jawab anggaran hingga pelaksana kegiatan atau rekanan.
“Ada dua pendekatan dalam mengusut kasus korupsi. Yakni follow the money dan follow the function. Pendekatan pertama biasanya APH akan menelusuri aliran uang dari proyek yang terbukti merugikan negara itu. Siapa saja yang menerima bisa diciduk,” jelasnya.
“Sedangkan pendekatan kedua adalah mencari tahu siapa yang bertanggung jawab secara fungsi pada proyek tersebut. Umumnya adalah pemangku kebijakan dan penanggung jawab anggaran. Bisa bupati, kepala OPD, atau pejabat lain. Meskipun mereka tidak turut menikmati hasil dari duit korupsi tersebut,” bebernya.
Dia pun berharap, APH dapat menjadikan momentum ini sebagai langkah awal untuk memulai pengusutan. Memanggil sejumlah orang dan pejabat yang dianggap terlibat, hingga rekanan yang kala itu mengerjakan. “Karena anggaran yang dikucurkan cukup besar. Mencapai Rp 17 miliar lebih. Aneh jika duit sebanyak itu tidak dipertanggungjawabkan,” pungkasnya. (putra)