JEMBER, CENDIKIA.NET – Momentum politik menjelang Pilkada 2024, menjadi kesempatan bagi oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jember, Jawa Timur, menjalankan aksinya. Mereka mulai bergerilya dengan menyasar birokrat dan para pejabat di pemkab setempat. Modusnya, membuat laporan dugaan korupsi dengan tujuan mendapat “upeti”.
“Pola-pola semacam ini sebenarnya umum terjadi di berbagai daerah. Tapi di Jember, tingkah polah oknum LSM jenis begini memang cukup banter. Mereka sebenarnya berwajah pecundang tapi memakai topeng pejuang,” ungkap Zulhan Khumaidi, pengamat kebijakan publik dan demokrasi di Jawa Timur.
Berdasarkan pengamatannya, baru-baru ini tersebar pesan berantai yang mengatasnamakan dua LSM di Jember. LSM Kuda Putih dan LSM Nusantara. Pesan itu berisi framing tentang informasi penyelidikan dugaan korupsi di Pemkab Jember yang seolah-olah akan meningkat menjadi penyidikan.
Padahal, informasi yang ia terima, oknum pengurus kedua LSM itu sebelumnya sempat berkomunikasi dengan sejumlah pejabat untuk meminta “upeti”. Pejabat yang tidak memberi, diancam bakal dilaporkan ke polisi.
“Kalau menurut saya, mereka tak ubahnya seperti preman pasar. Rutin minta jatah uang keamanan. Jika tidak diberi, pedagangnya akan diganggu sendiri. Hanya saja, pada perkara ini mereka berbaju LSM dengan menyasar para pejabat dan birokrat,” bebernya.
Menurut Zulhan, sebenarnya misi didirikannya LSM itu mulia. Sebagai lembaga non pemerintah yang turut berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Juga menjalankan fungsi kontrol, sekaligus pemberdayaan masyarakat.
Kilas balik ke belakang, LSM cukup popular era 70-90 an. Kala itu, eksistensi LSM benar-benar dirasakan bagi masyarakat secara umum. Mereka menjalankan fungsi pemberdayaan dengan turun langsung ke masyarakat. Tidak seperti sekarang, hanya menjadi tukang lapor dan koar-koar di media sosial.
“Fungsi dan peran LSM dewasa ini juga bergeser jauh dari semangat awal. Bahkan, saya menemukan ada LSM yang dijalankan sendiri. Ketua, sekretaris, bendahara hingga anggotanya, ya dia sendiri. Biasanya mereka datang ke pejabat. Ancam sana, ancam sini,” ucapnya.
Saat ini, keberadaan LSM yang dijalankan oleh oknum seperti LSM Kuda Putih dan LSM Nusantara tersebut kurang mendapat simpati. Bahkan, ada masyarakat yang menganggap LSM jenis ini sebagai BENALU DEMOKRASI.
Makanya, sejumlah lembaga pemberdaya non pemerintah tak lagi menyebut diri mereka sebagai LSM, tapi NGO atau Non Government Organization. Ini untuk membedakan mana organisasi yang memberdayakan dan lembaga tukang ancam.
“Karena sebagian besar masyarakat dan pejabat kita alergi dengan model LSM yang semacam ini. Mereka bukannya menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya, tapi justru memanfaatkan peluang itu untuk meraup cuan. Menurut saya, ini sangat berbahaya bagi demokrasi,” ulasnya.
Zulhan pun teringat, disertasi yang ditulis oleh Edy Budi Susilo kala menjabat sebagai Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Pemkab Jember 2014 lalu. Disertasi untuk menempuh gelar doktor tersebut berjudul “Interaksi Birokrasi Pemerintahan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Kabupaten Jember”.
“Dalam disertasi itu diungkapkan bagaimana wajah pragmatis LSM. Mereka akan menjadi garang jika kepentingannya tidak diakomodir. Dan kehadiran mereka justru menjadi kendala dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), selain birokrasi yang konservatif,” pungkasnya. (putra)